Keberlanjutan Pendanaan Organisasi Masyarakat Sipil di Daerah

Tantangan Pendanaan LSM di Daerah

Secara umum terdapat tiga tipologi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia, yaitu: (1) sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power), (2) sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat, (3) sebagai lembaga perantara (intermediary institution). Pemilahan tersebut berdasarkan pengkajian ilmiah yang menjadi pendekatan dan sudut pandang dalam melihat fenomena gerakan OMS atau LSM di Indonesia. Melalui tipologi tersebut sesungguhnya dapat dilihat perkembangan LSM di Indonesia untuk memperoleh pemetaan kondisi yang dihadapi dari masa ke masa. Hampir semua LSM masih hidup dalam artian karena masih memiliki lembaga secara administrasi namun sudah tidak berfungsi secara optimal lagi karena tidak memiliki sumber daya pendukung yang memadai khususnya sumber daya manusia (SDM) yang memadai dan sumberdaya keuangan/dana yang memadai. 1

Pendanaan LSM adalah salah satu sumber daya yang sangat penting untuk menunjang keberlanjutan organisasi dalam menjalankan visi dan misinya. Di sisi lain, LSM tentunya memiliki  tantangan tersendiri dalam memastikan ketersediaan sumber daya tersebut, khususnya bagi LSM di daerah.  Tidak dapat dipungkiri, bahwa hingga saat ini, ketergantungan pendanaan dari lembaga donor masih cukup besar. Di sisi lain, dari tahun ke tahun, sumber pendanaan dari lembaga donor cenderung semakin berkurang, khususnya bagi LSM di daerah.  

Ketersediaan sumber pendanaan lainnya juga terbatas dan tidak mencukupi, bahkan semakin tidak terjamin, baik dari sisi jenis maupun jumlah.  Jikapun tersedia sumber-sumber pendanaan dari pemerintah, tidak semua LSM dapat mengaksesnya. Pada tahun 2019, pada APBD Perubahan Provinsi Sulawesi Selatan terdapat sekitar 22 Milyar rencana alokasi belanja hibah kepada sejumlah Badan/Lembaga/Organisasi Kemasyarakatan, tetapi mekanisme tentang proses mengakses anggaran ini tidak diketahui oleh semua LSM secara terbuka.  Bahkan pada tahun 2020 (APBD Pokok), jumlahnya mencapai sekitar 64 Milyar.  Meskipun tersedia dana hibah ini, tetapi LSM tidak bisa bergantung pada sumber pendanaan ini, karena pada dasarnnya hanya bersifat charity yang tidak memberikan efek untuk memandirikan keberadaan LSM. 

Demikian juga pengadaan barang dan jasa melalui swakelola, khususnya Swakelola Tipe 3, belum semua prosesnya terbuka dan mudah diakses. Kondisi ini mungkin tidak jauh berbeda dengan daerah lain.

Ketersediaan sumber pendanaan lainnya juga terbatas dan tidak mencukupi, bahkan semakin tidak terjamin, baik dari sisi jenis maupun jumlah.  Jikapun tersedia sumber-sumber pendanaan dari pemerintah, tidak semua LSM dapat mengaksesnya. Pada tahun 2019, pada APBD Perubahan Provinsi Sulawesi Selatan terdapat sekitar 22 Milyar rencana alokasi belanja hibah kepada sejumlah Badan/Lembaga/Organisasi Kemasyarakatan, tetapi mekanisme tentang proses mengakses anggaran ini tidak diketahui oleh semua LSM secara terbuka.  Bahkan pada tahun 2020 (APBD Pokok), jumlahnya mencapai sekitar 64 Milyar.  Meskipun tersedia dana hibah ini, tetapi LSM tidak bisa bergantung pada sumber pendanaan ini, karena pada dasarnnya hanya bersifat charity yang tidak memberikan efek untuk memandirikan keberadaan LSM. 

Demikian juga pengadaan barang dan jasa melalui swakelola, khususnya Swakelola Tipe 3, belum semua prosesnya terbuka dan mudah diakses. Kondisi ini mungkin tidak jauh berbeda dengan daerah lain. 

1 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Sipil Dalam Perspektif Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2006.

Sumber pendanaan dari dunia usaha, melalui CSR, juga memiliki tantangan tersendiri. Selain keterbukaan informasi, beberapa dunia usaha juga memiliki yayasan/lembaga sendiri yang mengelola secara langsung pendanaan tersebut. Kalaupun ada ruang bagi LSM, itupun juga dalam jumlah anggaran yang terbatas, dan lebih cenderung pada LSM yang bergerak di isu pemberdayaan.

Bagi LSM di daerah, dengan keterbatasan pendanaan organisasi, pilihannya cenderung bergantung dari dana swadaya untuk tetap bertahan dalam melakukan kerja-kerja organisasi, ataupun dengan melakukan diversifikasi pendanaan. Pertanyaannya…sampai kapan bisa bertahan?

Secara umum, memang diakui bahwa tantangan yang dihadapi oleh LSM di daerah karena:

  1. Tidak memiliki sumber dana abadi
  2. Tidak mempunyai sumber dana secara khusus
  3. Belum mempunyai unit usaha yang lebih strategis dan mandiri dapat mendukung pelaksanaan program organisasi

Swakelola Tipe III;Peluang Pendanaan LSM

Di tengah keterbatasan pendanaan bagi LSM di daerah, sebenarnya salah satu yang potensial dapat diakses adalah Swakelola Tipe III. Swakelola tipe ini merupakan dimensi baru kemitraan antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan untuk inovasi pembangunan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Paradigma baru dalam pembangunan ini mendukung ormas mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam proses pembangunan sekaligus dapat menguatkan kapasitas dan keberdayaan mereka. Organisasi kemasyarakatan termasuk LSM, dengan demikian, bisa menjadi co-creator yang aktif berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas layanan publik dan program-program pemerintah. 

Kehadiran LSM sebagai pelaksana Swakelola Tipe III dapat mengisi gap kebutuhan barang/jasa pemerintah yang tidak dapat disediakan oleh pelaku usaha atau melalui tipe swakelola lainnya (Tipe I, Tipe II, Atau Tipe IV). Swakelola Tipe III ini juga memberi kesempatan bagi masyarakat untuk tidak hanya menjadi objek pembangunan, namun juga menjadi bagian yang terlibat dalam proses pengadaan yang menunjang pembangunan.

Swakelola ini sekaligus memberikan kesempatan pemberdayaan bagi LSM, misalnya untuk kegiatan- kegiatan yang telah lama dilakukan, berupa pelayanan sosial seperti layanan pendidikan dan kesehatan, atau kegiatan penelitian dan pengembangan iptek untuk penguatan kebijakan

Melalui Swakelola Tipe III ini LSM dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan jangkauan layanan.  Di sisi lain juga menjadi platform legal bagi pemerintah dalam menyediakan ruang bagi masyarakat untuk terlibat aktif mendorong ide dan menjalankan kegiatan pembangunan.

Namun pertanyaannya, apakah semua LSM dapat mengakses sumber pendanaan tersebut?  Untuk mengaksesnya, tentunya LSM perlu memastikan pemenuhan persyaratannya, berdasarkan Peraturan LKPP No.3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola.  Beberapa LSM termasuk di daerah misalnya di Sulawesi Selatan, telah memenuhi persyaratan tersebut.  Meskipun demikian, muncul permasalahan lainnya yaitu akses atas informasi tentang pelaksanaan Swakelola Tipe 3 dari Pemerintah belum terbuka sebagaimana yang diharapkan. Keterbukaan Informasi perencanaan dan penganggaran untuk alokasi anggaran yang dapat dikelola oleh LSM masih merupakan tantangan tersendiri yang perlu didorong. 

Apa Upaya yang Harus Dilakukan?

Membangun keberlanjutan finansial dan mendiversifikasikan pendanaan merupakan hal yang penting bagi LSM mengingat tujuan akhirnya adalah untuk memastikan bahwa dampak kerja lembaga-lembaga tersebut dapat dipertahankan dalam jangka yang lama. Praktik dalam dunia internasional menunjukkan bahwa agar dapat bertahan hidup. LSM membutuhkan dukungan finansial jangka panjang dari berbagai sumber.2 Bagi sebuah LSM, masalah keuangan yang berhubungan dengan dana dan pendanaan program merupakan sesuatu yang vital bagi keberlangsungan organisasi demi menjalankan program yang baik dan berkelanjutan.

Sebagai LSM yang bekerja di daerah, kami berusaha semaksimal mungkin berupaya agar program kerja organisasi tetap bisa berjalan. Bagaimana bisa bertahan….tentunya dengan membangun dan mengembangkan lingkungan kerja yang adaptif terhadap berbagai perubahan untuk mendukung pendanaan organisasi yang berkelanjutan, diantaranya  lebih memperbaiki sistem dan tatakelola organisasi agar kepercayaan jaringan dan mitra tetap bisa dipertahankan bahkan lebih ditingkatkan. Selain itu, membangun dan memperluas jaringan organisasi baik sesama LSM, Perguruan Tinggi maupun dengan Pemerintah sepanjang tidak bertentangan dengan visi, misi, prinsip dan nilai organisasi.  Selanjutnya memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki organisasi sebagai potensi sumber pendanaan berdasarkan focus program yang telah direncanakan.

Dari sisi pemerintah, sebagaimana yang didorong oleh Kelompok Kerja Perumusan Perpres Pendanaan LSM, bagaimana pemerintah hadir untuk mendorong terciptanya lingkungan pendukung bagi keberlanjutan LSM dalam bentuk Dana Abadi.  Dana ini tentunya tetap melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa publik yang bisa dilakukan oleh LSM sesuai pengalaman, kepakaran dan area kerjanya, yang diatur melalui Peraturan Presiden, yang tentunya  harus mengatur tata kelola pengelolaan dana yang baik, agar transparan dan akuntabel, serta dapat diakses oleh seluruh LSM di Indonesia tanpa kecuali3, termasuk bagi LSM di daerah.(RA)

2 Ben Davis, Resume by A Naufal Azizi 15/384251/SP/2696, Keberlanjutan Finansial dan Diversifikasi Pendanaan: Tantangan bagi LSMIndonesia.

3 Kelompok Kerja Perumusan Perpres Pendanaan LSM, SIARAN PERS “Peraturan Presiden tentang Dana Abadi bagi LSM; Wujud Komitmen Pemerintah Menjaga dan Memajukan Demokrasi, Jakarta 16 Februari 2022.