Pelatihan: Kolaborasi Melalui Inisiatif Sosial Sektor Swasta

Dewasa ini, kolaborasi adalah kunci. Terlebih ketika mengingat bahwa Kemitraan untuk Mencapai Tujuan menjadi salah satu capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Kolaborasi lintas sektor pun tak terhindarkan, seperti antara sektor Lembaga Swadaya (LSM) dan sektor swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Membangun kerja sama tentunya membutuhkan pengetahuan dan strategi agar tujuan dapat tercapai dan semua pihak mendapatkan manfaatnya.

Yayasan Penabulu melalui program Co-Evolve menggelar pelatihan bagi LSM bertajuk “Kolaborasi dengan Sektor Usaha: Optimalisasi Peluang Corporate Social Responsibility” yang diselenggarakan selama tiga hari, yakni Sabtu, 23 Oktober; Sabtu, 6 November; dan Sabtu, 13 November 2021. Pelatihan ini dibawakan oleh Ditto Santoso, seorang praktisi dan penulis tentang CSR dan pemberdayaan masyarakat.

Di pelatihan hari pertama, Ditto memberikan fondasi terlebih dahulu mengenai motivasi, keuntungan, hingga risiko yang bisa dipertimbangkan ketika LSM hendak berkolaborasi dengan sektor swasta. Ditto juga memberikan pemahaman mengenai ragam inisiatif sosial yang biasa dilakukan sektor swasta.

Tak dipungkiri bahwa sektor swasta adalah mitra strategis dan memiliki sumber daya yang bisa membantu LSM mempercepat upaya intervensi suatu isu. Akses terhadap sumber daya, baik in-fund maupun in-kind, menjadi salah satu motivasi sekaligus manfaat dari kolaborasi sektor LSM dan sektor swasta. Selain sumber daya, kolaborasi ini juga menciptakan kesempatan bagi LSM untuk meningkatkan publisitas dan kesadaran publik akan organisasi maupun isu yang menjadi fokus. Lebih jauh lagi, kolaborasi LSM dengan sektor swasta bisa menjadi sarana transfer pengaruh, kepemimpinan, dan pembelajaran antara keduanya.

Segala sesuatu memiliki risiko yang alangkah baik jika diketahui agar bisa diminimalisir. Ditto menyampaikan ada sejumlah risiko yang dapat timbul ketika LSM berkolaborasi dengan sektor swasta, yakni risiko reputasi yang bisa memengaruhi LSM apabila tidak berhati-hati memilih perusahaan, risiko finansial, efektivitas program, timbulnya konflik kepentingan, pengaruh pada standar program, dan manfaat berlebih bagi sektor bisnis.

Ditto mengatakan risiko ini bisa diantisipasi dengan mengetahui karakter perusahaan yang hendak diajak berkolaborasi. Selain itu bisa juga dengan melakukan analisis stakeholder engagement untuk membuka pintu dialog bagi pihak-pihak yang mungkin terpengaruh oleh keputusan yang dibuat atau implementasi keputusan organisasi.

Mengenali karakter perusahaan tak hanya penting untuk menekan risiko, tetapi juga supaya peluang LSM mendapat dukungan dari sektor swasta menjadi lebih besar. Dari situ, LSM bisa memilih jenis inisiatif sosial apa yang kiranya sesuai untuk diajukan kepada perusahaan dan bisa dilakukan. Ada enam inisiatif sosial, yaitu cause promotion, corporate social marketing, cause-related marketing, corporate philanthropy, community volunteering, dan socially responsible business practice.

Mengetahui ragam inisiatif sosial ini juga penting agar bisa disesuaikan dengan kapasitas LSM. Hal lain untuk dilakukan adalah memetakan isu apa yang menjadi kepedulian perusahaan. Pasalnya, semakin dekat isu yang diangkat dengan aspek bisnis, maka peluang ajuan kolaborasi diterima juga meningkat.

Ditto juga mengingatkan sektor LSM dan sektor swasta cenderung membawa kepentingan yang berbeda. Sektor LSM membawa kepentingan sosial dan sektor swasta membawa kepentingan bisnis. Agar kolaborasi LSM dengan sektor swasta tidak menjadi bumerang yang melukai nilai organisasi dan program yang dijalankan, ada sejumlah pertanyaan yang bisa menjadi pertimbangan LSM. Pertama adalah menakar batasan etis organisasi. Misalnya, apabila LSM bergerak di bidang kesehatan masyarakat, apakah organisasi mau berkolaborasi dengan perusahaan rokok? Kedua adalah mempertimbangkan berapa pengeluaran yang dibutuhkan untuk mengomunikasikan program sosial bersama perusahaan. Ketiga adalah cause apa yang dipilih untuk mempertimbangkan kesesuaian program dengan kapasitas LSM dan core business perusahaan. Keempat adalah mempertanyakan posibilitas timbulnya persepsi berlebihan tentang kebaikan perusahaan, seperti CSR-washing. Kelima adalah apakah ada kegiatan yang berpotensi mencederai organisasi.

Ditto belum masuk ke dalam pembahasan spesifik mengenai CSR di pelatihan hari pertama ini. Pembahasan seputar CSR akan ia berikan di pelatihan hari kedua, yaitu Sabtu, 6 November. Sementara pelatihan hari ketiga pada Sabtu, 13 November akan membahas perancangan program kolaborasi dengan perusahaan.