Sesi semiloka 1

Semiloka #1 “Pandemi Covid-19, Kapan Berakhir?”

Bagi banyak negara, satu tahun adalah waktu yang cukup untuk menelan pil pahit, belajar, dan menata ulang kehidupan agar dapat tetap menjadi di tengah situasi pandemi. Sedangkan bagi banyak negara lainnya, satu tahun berlangsung begitu saja, tanpa ada peningkatan kualitas ‘gaya bermain’[1].. Bagaimana dengan Indonesia? Pertanyaan tersebut sangat sederhana, tetapi, untuk bisa menjawabnya, kita semua perlu melalui trajektori yang panjang[2].

Yayasan Penabulu–melalui program CO-EVOLVE–dan Yayasan SKALA Indonesia berinisiatif merancang Semiloka, yang merupakan kegiatan kolaborasi lintas LSM[3]– sebagai upaya penanggulangan pandemi terhadap kelompok masyarakat sipil. Semiloka adalah konsekuensi dari rasa resah yang melanda pada hampir seluruh masyarakat.. Inisiatif ini memang belum terbukti kuat seperti inisiatif Warga Bantu Warga[4] yang lebih dulu hadir dan telah berhasil mengisi lubang-lubang kecil yang luput dari kebijakan pemerintah, serta juga bukan merupakan sebuah mandat dari konstitusi negara. Tetapi, keberadaannya tetap penting sebagai suatu alat yang–diharapkan–dapat membantu banyak masyarakat sipil untuk bisa bertahan dan selamat selama masa pandemi.

sesi foto bersama

Foto: Dok, CO-EVOLVE

Semiloka dirancang sebagai kegiatan serial, dengan tema utama: Penanganan Pandemi, Respon dan Kontribusi Organisasi Non Profit. Pada hari Kamis, tanggal 12 Agustus 2021, seri Semiloka  pertama dihelat secara virtual dengan mengusung tema: Pandemi Covid, Kapan Berakhir?. CO-EVOLVE dan Yayasan Skala Indonesia mengundang 3 orang narasumber untuk menghadirkan 3 perspektif yang berbeda. Diskusi Semiloka dipandu oleh Edward Angimoy, dari organisasi IDEP Foundation. Pembicara pertama adalah Irawati Hermantyo (Ira) yang mewakili Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Bidang Perubahan Perilaku. Ibu Ira membuka penyampaiannya dengan gambaran berskala nasional mengenai situasi pandemi di Indonesia. Kemudian, Ibu Ira melanjutkan materinya dengan pemaparan mengenai strategi yang sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo, yakni ‘hidup berdampingan dengan pandemi’. Fokus strategi yang diaplikasikan oleh Satgas Covid adalah sosialisasi melalui aspek kebudayaan lokal dan populer mengenai protokol 3M: menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Sayangnya, strategi sosialisasi tersebut tidak diikuti dengan model pengawasan dan pengevaluasian yang jelas. Banyak peserta diskusi yang menyasar alat ukur keberhasilan dari strategi tersebut. Namun, pembicara dalam merespon  pertanyaan peserta masih sangat umum sehingga memancing diskusi menjadi lebih aktif.

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Masdalina Pane yang mewakili organisasi Profesi Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI). Fokus materi yang dibawakan oleh Masdalina berkutat pada tantangan dari program vaksinasi dan pengendalian pandemi Covid-19. Masdalina membagi 2 jenis strategi pengendalian pandemi berdasarkan kelompok subjeknya, yakni pemerintah dan masyarakat. Pemaparan Masdalina melengkapi penjelasan dari Ira. Ira menegaskan jika pengendalian pandemi adalah tanggung jawab individu untuk saling menjaga diri. Sedangkan Masdalina menjelaskan bahwa benar jika masyarakat perlu mematuhi protokol kesehatan, tetapi, pemerintah juga berkewajiban untuk menerapkan 3T: testing, tracing, testing. Selain itu, Masdalina juga menjelaskan konteks besar dari vaksin yang digunakan di Indonesia, seperti misalnya, jenis-jenis vaksin yang diperkenankan untuk digunakan di Indonesia, tingkat efikasi vaksin Sinovac, dan skema distribusi vaksin di Indonesia. Penjelasan mengenai program vaksin merupakan upaya untuk membangun konteks sebelum menjelaskan konsep herd immunity. Singkat kata, herd immunity, bagi seorang epidemiolog, hanya dapat dilakukan, jika dan hanya jika, sebagian besar penduduk Indonesia telah divaksin.

Pembicara terakhir mewakili kelompok Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), yakni Suraya Afiff dan Dian Rosdiana. AAI menjelaskan pendekatan norma sosial budaya dalam strategi komunikasi resiko. Dian Rosdiana menyampaikan materi lebih dahulu. Ia menjelaskan salah satu tantangan terbesar dalam penanganan pandemi adalah hoaks/disinformasi yang beredar bebas di tengah masyarakat. Hoaks bisa beredar karena ada permasalahan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sains dan kelompok saintis. Rendahnya tingkat kepercayaan jelas merupakan suatu pembahasan yang berbeda, materi tersebut juga tidak diulas secara mendalam oleh Dian Rosdiana dan Suraya Afiff, tetapi, asumsi tersebut cukup memadai untuk bisa menjelaskan persebaran hoaks mengenai pandemi di Indonesia. Selain hoaks, Dian Rosdiana menjelaskan juga tantangan lain dalam strategi komunikasi yang terjadi saat ini di Indonesia, yakni pola komunikasi yang terpusat dan berbentuk top-down. Selain itu ada juga hambatan technology driven, berupa akses informasi dan komunikasi yang belum bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Setelah Dian Rosdiana menjelaskan tantangan-tantangan komunikasi yang muncul di Indonesia, Suraya Afiff melanjutkan bahasan AAI dalam bentuk rekomendasi strategi komunikasi yang berperspektif antropologi. Terdapat 4 lapisan yang perlu diperjelas peranannya, yakni: lingkungan kebijakan, sistem pendukung pelayanan, tradisi/norma masyarakat, dan individu. Masing-masing lapisan memiliki peranan dan tanggung jawab yang berbeda, tetapi saling berkaitan dan diharapkan dapat membantu masyarakat menjadi lebih siap dan siaga dalam menjalani kehidupan selama masa pandemi.

Diskusi Semiloka 1 berlangsung selama 3 jam. Banyak pertanyaan, kritikan, dan usulan yang datang dari 46 peserta diskusi. Setiap respon yang datang dari peserta, mencerminkan keadaan di daerahnya masing-masing. Kesimpulannya, 3 materi yang disampaikan dalam diskusi Semiloka 1 menjelaskan pentingnya sinergi dan konsistensi antara penerapan kebijakan dan proses pengawasan keberlangsungan kebijakan tersebut. Suatu kondisi yang belum berlangsung di Indonesia selama ±1,5 tahun pandemi berlangsung di Indonesia.

[1] Penulis menggunakan istilah ‘gaya bermain’ untuk menjelaskan kebijakan dan sikap politik yang digunakan oleh suatu rezim pemerintahan yang tengah berlangsung di suatu negara.
[2] Melalui lintasan waktu selama ±1,5 tahun, drama pejabat pemerintahan, sampai ribuan nyawa yang meninggal sebagai pasien Covid-19.
[3] Lembaga Swadaya Masyarakat.
[4] ​​https://www.wargabantuwarga.com/

Material presentasi narasumber bisa diunduh di sini